Thursday, April 28, 2011

TIGA PULUH SATU

Apa yang kau mimpikan semalam?
Samakah denganku?

Aku memimpikan seorang gadis yang sedang duduk menghadap kaca
Matanya sembab disesaki ulat tak bernyawa
Rambutnya panjang tergerai memenuhi ruangan berlantai kayu yang tidak berhenti berderak ketika aku masuk ingin merayu
Wajahnya dipenuhi huruf-huruf untuk kemudian menceritakan semua yang ingin kutahu
Ketika aku kehilangan akal sehatku satu persatu
Ketika darahmu memenuhi kelopak mataku
Benarkah kau juga memimpikan itu?
Termasuk gaun hitam membungkus tubuhnya yang biru?

Tadinya aku ingin pergi
Tepat ketika gadis itu menatapku dan menjerit dengan cantiknya
Tepat ketika gadis itu menjahit tangannya sendiri dengan racauan yang mengiris telinga
Bulu matanya meleleh
Menetes perlahan di rahimnya untuk kemudian meninggalkan seonggok luka yang takkan kulupa hangusnya
Kau ingat ini?
Rapal melati yang mati mewangi?
Wangi yang sama ketika kau menari merayakan logika
Ketika kau mencumbui malam hanya untuk membuatnya tetap terjaga
Apa maksudmu?
Kau yakin itu bukan mimpi?

Ah, wangi ini..
Datang lagi..

TIGA PULUH

Aku ingat ketukan rindu sore tadi
Sehelai rambut di sudut pintu
Endapan percakapan di telinga dan wangi hujan yang tak lekas pergi
Kau ingat?

Sepertinya tidak
Karena rindu itu untukmu
Rambut itu milikmu
Percakapan itu denganmu
Hujan itu aku..

DUA PULUH SEMBILAN

Anak arang berloncatan memunguti kancing yang dimuntahkan ibunya
Anak awan berlarian mengubur angin sebelum perlahan diarak senja
Kau bersiul menyirami rumput sematakaki sambil sesekali menelan peniti untuk merayakan anak kita yang setengah buta

Lalala lalala
Betapa indahnya kita
Lahir dari khayalan yang sama

Lalala la...tunggu, kenapa matamu mengeluarkan darah?
Betapa indahnya kita
Anak arang berloncatan memunguti kancing yang dimuntahkan ibunya..

DUA PULUH DELAPAN

Melati kemangi
Perempuanku..

Di hamparan padang rindu ia bersimpuh
Tersenyum dicandai angin yang menertawakan daun-daun berterbangan
Merayakan tubuhmu dengan candu yang perlahan membiru

Mati mewangi
Perempuanku..

Di hamparan padang janji ia berpeluh
Terbaring lelah dirayu telanjang bulan malam
Merayakan manusia dengan tuhan yang berserakan

Bisakah kita pulang sekarang?
Akan kuantar kau ke tempat tidurmu
Seperti biasa kita mengartikan malam..

Thursday, January 20, 2011

DUA PULUH TUJUH

Aku ingat
Aku lihat
Aku tersirat
Aku sesaat
Aku sekelebat
Aku pucat tak terawat
Aku lumat dilaknat pekat
Aku penat terikat karat
Aku firasat yang terlambat
Aku mendekat teramat cepat
Aku tamat

Kau malaikat?
Kau bangsat
Aku tak peduli

DUA PULUH ENAM

Ruang

Waktu

Air mata

Tawa

Emosi

Logika

Akal

Jiwa

Imaji

Mimpi

Sepi

Luka

Hitam

Langkah

Perih

Malam

Khayal

Angin

Senja

Rindu

Hujan

Awan merah

Tanah basah

Lampu kota

Manusia usang

Ilalang petang

Lengkung alis

Ceruk bibir

Tulang pipi

Kupu-kupu

Rapal mewangi

Payung emas

Telanjang bulan

Pasar malam

Sekotak luka yang kutinggalkan

Sudut mati yang kutuhankan



Aku ingin berdamai denganmu....

DUA PULUH LIMA

Bisakah kau taruh gelas minumanmu sejenak
Tinggalkan kursimu
Duduklah disini

Kau pasti mengerti
Bahkan lebih dari itu
Bukan sifatku menjadi orang yang selalu ingin tahu
Terlebih kau selalu berhasil membodohiku
Menutupi cemasmu dengan sebuah senyum seindah kupu-kupu

Tapi kali ini kau kalah
Ada sesuatu yang tak ingin kau ceritakan kepadaku
Aku bisa melihatnya dari tatapanmu yang membiru bersamaan dengan kupu-kupu itu beranjak malu meninggalkan sarangnya di teduh lengkung alismu

Katakan kepadaku
Kenapa harus menunggu malam ketika petang membuatmu nyaman
Kenapa harus tertawa enggan ketika tangis membuatmu tenang

Sedikitpun mereka tak akan pernah mengerti apa yang ada di mimpiku malam tadi
Rusa-rusa pincang itu
Gaun merah di tengah padang ilalang yang kau tangisi sepanjang malam karena ia tak pernah sedikitpun berbohong
Atau kenapa pagi tak kunjung datang hanya karena kau merasa tak pantas memeluknya

Bukankah kita tak membutuhkan kata-kata ketika sunyi adalah sempurna
Apakah kau lupa sekotak luka tak ada artinya selama kita bertuhankan senja

Duduklah disini
Karena sekali lagi aku adalah semua yang tak pernah kau lewati

DUA PULUH EMPAT

Mimpi indah
Angin selatan
Ditemani telanjang bulan malam
Nyanyian perempuan kebanyakan

Lampu kota
Luka samar
Menertawakan manusia tak punya hati
Meracau hambar tak ingin didengar

Mereka membusuk pelan tak enak dilihat sambil sibuk menjahit tangannya sendiri selagi kita terus berjalan tak peduli
Dan kau tetap meneriakkan omong kosong logika nurani sementara ruangan ini semakin sesak dipenuhi ratusan kertas berlukiskan bercak emosi

Cukup
Aku mau duniaku sendiri
Tak acuh dengan matahari
Bertuhankan mata hati

DUA PULUH EMPAT

Bawakan aku matahari terbenam
Seperti biasa kita mengartikan malam
Saat mereka bertanya bagaimana kita menyembunyikan luka
Sebelum aku mati rasa ditertawakan bayangan betapa indahnya kita

Bawakan aku arak-arakan awan
Dan jangan lupa ingatkan aku untuk membawamu turun bersama hujan
Sebelum kita terbangun dibisiki pahitnya hitam
Akan kurayu kelam menjadi menyenangkan

Mungkin kita harus diam sejenak dan membiarkan mimpi saling membasuh
Atau selama ini kita memang terlalu gaduh

Jangan dulu tidur, Langitku...

Kita masih punya ratusan air mata untuk dilukis sebelum logika habis terkikis
Semanis ratusan sumpah serapah yang kau tulis ketika kau menangis

Bawakan aku matahari terbenam
Dan jangan pernah pergi lagi...

DUA PULUH TIGA

Kita adalah ilalang
Kita adalah langit petang yang meredup remang
Maka ini adalah kereta malam menuju padang mimpi berhiaskan hujan
Berselimutkan kabut tipis-tipis seakan ada yang mereka sembunyikan

Apa kabar, logika?
Senang melihatmu kembali setelah sekian lama kita dikhianati senja
Setangkup langit semakin murah saja harganya akhir-akhir ini
Aku bahkan bisa menukarnya dengan air mata
Atau seperti pagi tadi saat kita menukar mimpi dengan seonggok luka

Kita adalah ilalang
Mereka hanyalah manusia usang

DUA PULUH DUA

Diam..
Dan perhatikan bagaimana kita perlahan tenggelam
Dengan segala buih pembenaran yang tak pernah berhenti mengisi keringnya retorika
Dengan segala luka yang entah darimana datangnya
Bagaimana aku bisa melewatkanmu ketika kau selalu mengingatkanku akan candu..??
Melumat setiap bayangan tiap kali kau tersenyum kepadaku tanpa sedikitpun keluh enggan

Percayalah..
Ini bukan sunyi
Sepi yang kutahu lebih hening dari ini
Melentik-lentik cantik mengaburkan batasan-batasan mimpi
Terus seperti itu dan selalu berakhir dengan aku tertidur dimanjakan nyaman lengkung alismu
Bukankah selama ini kita sudah terbiasa seperti itu..??

Ini tak akan pernah selesai, sayangku..
Kita hanya menari sia-sia walau memang masih diiringi irama yang sama
Langkah tersipu
Dan tatapan parau..

DUA PULUH SATU

Pernahkah kau mau melakukan apapun untuk seseorang...??
Hingga suatu saat bibirmu bergetar menahan tangis ketika dia meminta kepadamu sesuatu yang tak mungkin bisa kau penuhi...??
Dan kau tetap mencoba...

Saat itulah semua saling merindukan
Dan saling melupakan di saat yang bersamaan

Aku tidak pernah lelah
Terjaga sepanjang malam tanpa kau sadari
Menemanimu memimpikan sekotak sunyi yang bahkan demi tuhan aku tak mengerti
Pernahkah sekali saja kau tanyakan kenapa aku tak mau pergi..??
Sekali saja...tanyakan kenapa aku seperti ini..??

Semoga malam nanti kau tak bermimpi
Sehingga kau menggodaku untuk merayumu lagi

Seperti dulu kita mengartikan pagi dan mengubur sepi
Seperti dulu kita tak butuh kata untuk bercerita dan tak butuh suara untuk tertawa

Jangan pernah takut kehilangan, sayangku...
Takutlah kita tidak punya apa-apa lagi untuk dihilangkan...

DUA PULUH

Aku bertemankan sebungkus nasi
Sejumput sayur setengah basi
Dan selembar telur mata sapi

Agak hambar seakan asin itu dosa
Dan aku menikmatinya seperti digentayangi surga

Bukan karena lapar yang terbiasa
Sederhana saja
Perempuan tua penjual nasi tadi bercerita tentang bagaimana ia rela mati hina untuk anak-anaknya
Tentang bagaimana suaminya pergi di suatu pagi buta
Dan tak pernah kembali...

Dustakah itu tadi...??
Atau indahnya nurani...??

Setauku orang seperti dia tak punya alasan untuk berdusta
Atau tak tau caranya
Terlebih ketika ia dengan tegar menceritakan suaminya
Ada yang bilang suaminya beristri muda
Ada yang bilang mati ditembak tentara
Dan ia pun hampir tertelan air mata ketika kembali teringat anaknya

Indahnya duniaku bukan...??
Aku berbincang dengan pahlawan cinta saat kau tengah sibuk diperkosa manisnya Jakarta

Ciumlah kaki ibumu, kawan...
Karena Tuhan tidak pernah tidur...

(Pintu gerbong 3 KA Ekonomi Jogja-Jakarta. Suatu malam di bulan Februari, 5 jam sebelum stasiun Jatinegara)

SEMBILAN BELAS

Kaukah itu yang tadi malam berkelebat dalam mimpiku...??
Mengenakan bahasa-bahasa angin yang dengan indahnya membungkus sebagian tubuhmu yang biru

Tak ada tempat untuk kelam
Sekalipun itu terang

Kau tak lagi bersuara, Senja...
Berpendar pelan-pelan menerangi malam-malam yang berhiaskan setan-setan
Aku dan kamu telah menjadi kita...awan-awan berserakan

Inikah yang selama ini kau lukis...??
Lampu-lampu kota yang mengedip-ngedip malu
Langit bumi tak kenal hati

Kaukah itu yang tadi malam berkelebat dalam mimpiku...??
Karena seindah apapun itu...mimpi tetaplah mimpi...

DELAPAN BELAS

Aku pernah melihat egoku sendiri
Dan ia cantik sekali
Membelai otak kiriku agar sebisa mungkin tak mencampuri logika
Memandangiku dengan sibuknya melipat perahu-perahu kertas bercahaya

Aku mau satu malam lagi
Tak peduli air mata pagi

Melepaskan sesuatu yang tak pernah kumiliki

Lagipula aku tak bermakam,
Setelah menemanimu dalam mimpimu yang begitu terang dan sebentar itu.

TUJUH BELAS

Retaklah
Karena aku tidak mengenalmu ketika kau adalah sempurna
Bisik yang patah
Kemana saja kau selama ini...??
Aku kehilangan dongeng tanah basah yang dulu selalu kita tertawakan tanpa suara

Atau mungkin tempat ini memang sudah mati bahkan sebelum kita datang tadi
Atau mungkin ada yang mencurinya selagi kita pergi
Atau mungkin kita tidak membungkusnya dengan rapi
Persetan
Aku tak mau lagi
Dan lagi kau pasti sudah bosan melihatku membusuk
Bukankah aku tak mau lagi...??

Kau hanyalah manusia
Seindah senja
Seluruh semesta

Aku imaji
Air mata pagi
Lukisan mimpi

Mungkin kau adalah senja
Atau mungkin kau hanyalah segalanya

ENAM BELAS

( pintu diketuk, membuyarkan lamunanku. lamunan? rongga kepala ini sungguh gaduh. ini pasar malam. pintu diketuk lagi, berkali-kali, dan kali ini lebih kasar. persetan. ini tengah malam.)

Siapa itu?

Bukan siapa-siapa.

Tidak Mungkin! Siapa?

Aku bukan siapa-siapa. hanya suara ketukan pintu.

Darimana kau datang?

Sarang Merak.

Demi Tuhanku yang tidak pernah terlihat, aku bahkan tidak tahu itu dimana!

Memang. Dan akan tetap seperti itu.

Pergi! Pergi! Pergi!

Tidak bisa, kau selalu lari dariku. Kali ini tidak bisa.

Aku tidak lari!

Kau lari. Seakan kau mempunyai ratusan bilik untuk bersembunyi. Dan kau pun tahu cepat atau lambat pasti akan tiba saat seperti ini.

Tapi tidak secepat ini! Kau curang!

Curang? Curang hanya fitnah keji orang kalah. Kenapa kau takut? Aku hanyalah bunyi.

( aku terduduk kaku. lidahku kelu. malam merayakan hening dengan hitam. biadab.)

LIMA BELAS

Ada suara di dalam kepalaku
Teriakan-teriakan riang anak-anak kecil tak bernama
Berlarian mengejar satu sama lain
Tertawa membelai mati
Menunggu baiknya sepi
Tepat sewaktu malam meninggi

Mereka sangat menyenangkan
Bermata merah dengan usus-usus terburai yang menghiasi lantai
Terkekeh-kekeh mengunyah satu sama lain
Dan salah satu dari mereka berjalan dengan tak semestinya karena kakinya membusuk
Benar
Membusuk
Tapi menyenangkan
Setidaknya mereka menemaniku melewati malam
Saat aku terduduk tanpa melawan di sudut ruangan
Mereka menari membuat lingkaran dan bersorak ketika ku menangis
Aku harus menangis
Tidak boleh tidak
Nyawaku mencari perhatian
Nalarku ingin disaksikan

Lihatlah kesini
Perhatikan mereka menempelkan wajahnya ke wajahmu
Menyeringai dengan indahnya
Mereka pernah menemaniku melewati semua
Di malam yang paling hening dan paling hitam
Di perih yang paling kejam dan luka yang paling dalam
Mereka menyukai sepi
Seperti aku menyukai mati
Berhentilah menjerit kawan
Telingaku sakit
Pergi
Aku tak mau lagi

Kau membuatnya marah
Lari
Ada suara di dalam kepalaku.

EMPAT BELAS

Tidakkah terlalu indah jika kita bertuhankan senja sayangku..??
Atau mengharapkan tawa sedikit saja
Seperti sepasang mata kecil yang selalu mengintip dari balik kotak kayu berbentuk hati di perkaranganmu
Tidakkah terlalu murah...??
Saat mereka melukismu dengan segala carut-marut warna yang dulu kita tertawakan dan aku bahkan tak bisa berbuat apa-apa

Nalarmu memudar
Mengembun dengan anggun
Sementara kau tertelan mimpimu sendiri di tepian cerahnya hari
Mengubahmu menjadi tak lebih dari benda mati

Apalah aku ini sehingga harus kehilangan lamunan-lamunan kecil itu..??
Kita pernah berjalan beriringan di atas awan selagi padang-padang ilalang diguyur hujan
Dan tetap berjalan tak peduli riuh rendah hingar bingar kehidupan

Atau hanya bayanganku yang melihatmu seperti diselimuti cahaya biru..??

TIGA BELAS

I. INT. KAMAR KOST I
Seorang pemuda berumur sekitar 20an sedang terduduk di sudut ruangan yang berantakan dengan sangat gelisah. Dahinya penuh dengan peluh yg sesekali terlihat menetes menyusuri lengkung alisnya. Rokok di tangan kirinya terbakar sia-sia tak dihisap. Tangan kanannya memegang sebuah foto yg dibingkai kaca. Ia menatap foto itu dengan segala kebencian yang dimilikinya. Kebencian orang yang hatinya terluka oleh orang yang dicintai dengan sepenuh hati. Setelah matanya menatap kosong selama beberapa detik tiba-tiba ia melemparkan foto itu ke tembok sehingga bingkainya pecah berkeping-keping. Sesaat kemudian ia membenamkan kepalanya ke lipatan tangan diantara lututnya dan menangis pelan. Sangat pelan sampai akhirnya ia tertidur bermandikan air mata dan keringatnya sendiri.


II. INT. KAMAR KOST II
Seorang gadis cantik berumur sekitar 20an sedang mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Kulitnya yang putih bersih jelas sekali memperlihatkan ia sangat memperhatikan perawatan tubuhnya sehingga ia tetap terlihat cantik walaupun hanya dibalut handuk. Dengan lincah ia memainkan rambutnya yg panjang terurai sepunggung. Raut wajahnya tampak ceria dan bersemangat. Sesekali ia memilih-milih lagi baju yang kira-kira akan dipakainya malam ini. Ia mau terlihat cantik. Sangat cantik.


III. INT. KAMAR KOST I
Perlahan pemuda itu terbangun dari tidurnya. Matanya sembab. Rokok yang melekat di tangan kirinya sudah tidak menyala. Ia tampak kebingungan berusaha mengingat bagaimana ia bisa ada disitu. Sesaat kemudian ia meraih jam weker di dekatnya dan tampak sedikit terkejut.


IV. INT. KAMAR KOST II
Gadis itu tampak tergesa-gesa memasukkan barang-barang pribadi ke dalam tas nya sambil sesekali melirik jam tangannya. Setelah memeriksa kembali ia sadar ada sesuatu yang tertinggal. Dengan panik ia membalik-balikan bantal untuk mencarinya. Tak lama kmudian ia menemukan apa yg dicarinya, memasukkannya ke dalam tas, kemudian bergegas keluar kamar.


V. INT. KAMAR KOST I
Pemuda itu tampak sedikit lebih segar dan jelas telah mencuci mukanya. Ia mengambil sebotol parfum di laci meja. Setelah memakainya sedikit ia menjatuhkan botol parfum itu ke lantai kemudian berjalan keluar kamar. Kakinya menginjak pecahan kaca bingkai foto tadi dan terluka. Tapi ia tidak memperdulikannya. Mati rasa. Ia sudah melewati rasa sakit yang jauh lebih hebat dari itu.


VI. EXT. PINGGIR JALAN I
Gadis itu tampak sedang menunggu taksi di pinggir jalan. Sesekali ia melongok ke ujung jalan berharap ada taksi yang lewat. Tak lama kemudian memang terlihat sebuah taksi berjalan mendekat. Ia memanggilnya. Taksi berhenti dan gadis itu masuk ke dalam.


SUPIR TAKSI
“Kemana Mbak..?”

GADIS
“Hotel Cemara Pak, Kota…”


VII. EXT. PINGGIR JALAN II
Pemuda itu berdiri di trotoar sambil menghisap rokoknya. Saat ia melihat ada taksi mendekat ia memanggil taksi itu. Taksi berhenti.


SUPIR TAKSI
“Kemana Mas…?”

Pemuda itu tak menjawab. Hening. Supir taksi menengok ke belakang.

SUPIR TAKSI
“Mas…???”

Pemuda itu terkejut. Suara supir taksi itu membuyarkan lamunannya.

PEMUDA
“Ngga Pak…ngga jadi. Maaf. Saya turun sini aja.”

SUPIR TAKSI
“Tiga ribu tiga ratus Mas…”

PEMUDA
“Hah…??”

SUPIR TAKSI
“Argonya udah nyala Mas, tiga ribu tiga ratus…”

PEMUDA
“Oh maaf Pak…(menyerahkan selembar lima ribuan). Ambil aja kembaliannya…”

Pemuda itu turun dari taksi yang perlahan berjalan meninggalkannya.


VIII. EXT. PINGGIR JALAN II
Ia terduduk di trotoar. Puntung rokok tampak berserakan di dekat kaki pemuda itu. Tak lama kemudian sebuah taksi lewat dan ia berteriak memanggilnya. Taksi berhenti.


SUPIR TAKSI
“Malam Mas…kemana..?”

Hening.
SUPIR TAKSI
“Mas…???”

PEMUDA
“Hotel Cemara Pak, Kota….”


IX. INT. KORIDOR HOTEL
Pemuda itu berjalan pelan menyusuri koridor hotel. Langkahnya terasa amat berat. Ia berhenti sejenak setelah sampai di depan kamar yang ditujunya. Ia mengenggam gagang pintu kamar itu erat-erat, menelan ludah, menarik nafas panjang, kemudian membukanya perlahan.


X. INT. KAMAR HOTEL
Gadis itu sedang menyisir rambutnya di meja rias saat ia melihat sang pemuda masuk ke dalam kamar dari pantulan kaca di depannya.


GADIS
“Hi dear, kamu kok telat sayang…??”

PEMUDA
“Iya tadi macet di jalan…”

GADIS
“Dimana…?? Tadi aku lancar-lancar aja tuh…”


Pemuda itu tidak menjawab. Ia membuka pintu kamar mandi dan lemari seolah-olah memastikan tidak ada siapa-siapa disitu. Setelah ia yakin ia hanya berdua dengan sang gadis perlahan ia mendekati gadis itu.

PEMUDA
“Kamu udah lama…??”

GADIS
“Lumayan. Eh kamu pake parfum yang aku beliin ya..?? Aku apal wanginya…”


Ia berdiri di belakang gadis itu. Gadis yang sangat dicintainya. Ia mau melakukan apa saja untuk gadis itu. Darah. Keringat. Air mata. Apa saja. Dan ia berpikir hari ini gadis itu sangat cantik. Melebihi semuanya.


PEMUDA
“Tutup mata kamu deh…”


Gadis itu tampak senang dan buru-buru meletakan sisirnya di atas meja kemudian menutup matanya.


GADIS
“Pasti kamu mau ngasih aku kejutan lagi ya….”


PEMUDA
“Iya. Aku sayang kamu…”

Dengan cepat pemuda itu membekap mulut dan menyayat leher sang gadis dengan pisau cukur lipat yang ia keluarkan dari saku celananya. Sang gadis terbelalak tak sempat menjerit. Darah menciprat. Merah. Indah.


FADE TO BLACK


Pemuda itu menggendong mayat sang gadis dan meletakannya di kasur kemudian menyelimutinya. Darah menetes. Setelah itu ia duduk di sisi kasur yang lain dan melepas sepatunya. Tampak kaus kakinya dipenuhi dengan darah. Kemudian ia mengangkat kakinya ke atas kasur dan berbaring di samping tubuh tak bernyawa orang yang dicintainya. Ia menyelimuti dirinya sendiri, mengecup kening sang gadis, kemudian menyayat urat nadinya sendiri.

Darah menetes. Hening.




TAMAT

DUA BELAS

Ketika itu malam hari
Dengan segala keindahan sepi yang kau tahu dengan pasti aku menyukainya
Tidak...lebih dari itu...aku selalu memujanya...
Entah itu pertunjukan mimpi orang-orang yang mati suri di sekeliling kita
Atau sekalipun itu sudah jelas bau busuk yang merambat pelan hampir diam keluar dari trotoar yang seingatku tak pernah peduli
Lalu kau mau apa...??

Perhatikanlah seisi semesta ini merayakan malam dengan hitam
Ini memang seperti perayaan
Keheningan yang sungguh terlalu gaduh
Dan seperti biasa aku hanya bisa tertawa melihatmu berusaha menghiburku dengan sarang merak itu
Tetaplah hitam

Kau lihat orang yang sedang memuji cermin di jalan membosankan itu sebelum kita sampai disini...??
Yang berjalan meraba gelap karena darah kita memenuhi kelopak matanya
Antarkan aku ke penciptamu
Karena aku belum pernah melihatmu seindah ini
Bahkan mimpi kita pun tak pernah seindah ini

Dan memang benar ketika kelam mulai menggeliat nanti aku akan menikam tubuhmu
Begitu dalam sehingga dari lubang-lubang luka itu mengalirlah air mata yang selama ini kau sembunyikan dariku dengan tulusnya
Membelai segala macam endapan-endapan emosi yang tertinggal di balik rapuhnya hati
Seperti yang dulu selalu kita lewati
Ditemani lampu minyak yang sesekali tersenyum dirayu angin sunyi

Tetaplah begini
Tetaplah menjadi tak lebih dari mimpi
Seindah apapun itu

Setelah aku selesai menunggu senja ini tenggelam sekarat merah pucat dengan caranya sendiri
Sapalah aku di tengah malam sepi
Miliki semua waktu yang kita butuhkan untuk mengatakan betapa indahnya ini sebelum pagi mengusirmu pergi

Dan jangan khawatir
Aku akan kembali menunggu senja itu tenggelam lagi...

SEBELAS

Aku milik bumi

Menutupi tanah-tanah basah dan daun-daun kering
Diarak awan-awan merah menghiasi anak-anak angin

Menyusuri setapak batu beraroma manusia-manusia tak punya hati
Seperti gaun merah sutra yang menyelimuti kota tua di mimpiku malam tadi

Ambillah aku saat malam mengendap-endap nanti
Dan jangan pernah kembalikan aku ke tempat laknat ini lagi

Jangan pernah

Tembok-tembok ini sangat membenciku seperti mimpi membenci pagi
Seperti ibu menangisi bayinya yang terburai di tengah malam sepi

Aku milik bumi

Menari-nari di hamparan luas padang ilalang
Dan lihatlah aku merentangkan tangan menemani tarikan nafasku yang panjang

Aku milik bumi...

Ambillah aku malam nanti...

Aku tak sabar menyapa mati...

SEPULUH

Aku sebuah catatan

Dari pikiran yang terbuang
Sebagian logika yang menghilang
Dan tubuh yang meradang

Ketika aku bercumbu dengan ruang dan bercinta dengan waktu
Tuhanku adalah otak kanan, imajinasi, dan khayalan

Ketika kesadaranku tersesat di tengah manisnya malam
Teman bicaraku hanyalah rasa sakit yang menuntunku dengan sepenuh nalar
Bersenda gurau dengan potongan-potongan tubuh yang menggelepar
Menenggelamkan segala jeritan putus asa selagi aku mengunyah jantungku sendiri dengan indahnya

Dekat dengan nyala sepi ditingkahi tatapan yang membisu
Temuilah aku disitu saat hatimu terkikis habis nanti
Dan bawa seluruh akal sehatmu
Kita akan butuh itu untuk membereskan seluruh hancuran impian-impian kecil ini

Dan seandainya aku tak ada disitu
Carilah aku disela-sela air mata tuhan yang pernah memberi kita nyawa

Karena saat aku bersetubuh dengan tuhan
Aku kehilangan hakikatku sebagai manusia

Betapa indahnya kita...

SEMBILAN

( aku terduduk memandang keluar jendela. menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip malu dan membuatku sedikit terlena -sedikit saja- sambil merayakan angin yang sesekali bertiup dingin dengan liciknya.aku pernah sangat mengenal ruangan ini. sepi. sangat sepi. terlalu sepi.)

Hei...
Duduklah disini
Aku ingin bercerita tentang panasnya hari
Dinginnya malam
Dan hangatnya mimpi

Karena saat hujan turun berkejar-kejaran dengan sombongnya nanti
Dan air mata jatuh menceritakan hati
Saat itulah waktu kita habis terbeli

Aku dan kamu adalah hidup sayangku
Aku dan kamu adalah mati
Mencaci dengan gelisah betapa bodohnya ruang dan waktu
Memaki putik-putik kehidupan yang perlahan layu.

Mana senyum itu
Aku mau tau
Senyum yang dulu membuat kita tak peduli dan tak ingin terbangun lagi
Aku mau itu
Aku mau kamu

Lekuk alis
Tulang pipi
Ceruk bibir
Imajinasi

(matanya mulai membasah. dan tetap indah. dia menyiksaku. harusnya aku menyeka pipinya seakan tak terjadi apa-apa. dan dia tau aku tak bisa.)

Dulu kita seperti ini sepanjang pagi
Terdiam tak bersuara tapi saling bercerita
Terluka lebih dalam lagi tapi saling mengerti

Kita tak butuh kata untuk tertawa
Aku tak butuh nyawa untuk selamanya

Tidurlah
Aku tau kau lelah
Dan aku mau kau berjanji
Saat kau terbangun nanti
Peluklah aku dengan segala luka yang kumiliki

( ...dan aku terduduk memandang keluar jendela. menatap lampu-lampu kota... )

DELAPAN

Ketika kelam datang
Kemudian terang hilang
Akulah sang pecundang

Menangisi sesuatu yang kuharap ada
Meratapi malaikat mimpi sekilas semesta

Ini semua bohong
Selama ini aku meniduri anganku dengan buaian omong kosong

Ketika logika patah
Diikuti pagi yang sempurna merekah
Akulah sang kalah

Menyanyikan sesuatu yang tak bernada
Menari-nari seakan semua ini tercipta untuk kita

Ini semua palsu
Selama ini aku membasuh lukaku dengan candu

Hilanglah seperti aku
Hancurlah sambil lalu

Karena ketika akhirnya kau mengerti arti dari ini semua
Aku sudah tak ada disini untuk mendengarmu bercerita

TUJUH

Aku tersandar lemah
Menangisi pecahan mimpi malam tadi
Mengetuk-ngetuk isi kepalaku seakan ingin membenarkan
Meneriaki telingaku seakan ingin membangunkan

Dan orang-orang itu terus berdatangan
Mengulurkan tangan atau apa saja yang bisa mereka ulurkan
Menjanjikan kita awan-awan putih seperti mereka mengerti apa yang kita mimpikan

Aku terdiam lelah
Menyesali pecahan mimpi malam tadi
Membasahi matamu yang menyimpan semua indahnya kita
Menyusuri hatimu yang tak pernah bisa aku miliki terlalu lama

Dan orang-orang itu terus berdatangan
Mengejar apa saja yang bisa mereka kejar
Melupakan isi rongga hati mereka yang perlahan habis menjijikkan

Semua tertawa
Semua bercerita
Tentang terkutuknya kita yang tak seperti mereka
Tentang menyedihkannya ini semua

Aku tersandar lemah kehabisan darah
Aku terdiam lelah tak mau menyerah

Dan aku ingin tetap disini
Terkutuk dan menyedihkan
Seakan mereka mengerti apa yang kita mimpikan

ENAM

Mimisan...??
Aku mau pola darah yg indah di bajuku..
Aku mau suatu cipratan merah yg acak d lantaiku..
Ayo..
Atau perlu kugigit lidahku sendiri untuk menemanimu..??
Katakan saja..
Jangan sungkan..
Kita sudah seperti saudara..
Kurang hitam..!!
Persetan..!!
Aku mau darah yang hitam..!!
Bukan merah pekat seperti langit barat yang sekarat..!!
Aku mau hitam kelam seperti gelap malam..!!
Jangan berisik..ini sudah malam..
Persetan..!!
Aku selalu menang melawan malam..!!
Aku mau darahku hitam..!!
Dan singkirkan suara2 bayi ini dari dalam kepalaku..!!
Tak berguna..!!
Mana rasa sakit yang kau janjikan..!!
Mati rasa itu membosankan..!!
Gelap mati kosong pekat luka perih darah sepi hampa sayat pedih tangis mati gelap perih sayat luka sepi pedih darah gelap mati pekat luka hampa sepi perih gelap kosong darah tangis pekat gelap luka mati.......!!!!!!!

LIMA

Aku ini kenapa...??
Pelankan musik itu dan dengarkan imajinasiku bernyanyi
Redupkan lampu itu dan amati egoku menari

Tuhan....!!!! Kembalikan logikaku....!!!! Ku laknat kau....!!!!

Aku ini kenapa...??
Tertawalah kalian yang sudah sepantasnya melihat dia tertawa
Karena dia adalah mimpiku
Hal paling indah yang pernah terjadi padaku
Menangislah kalian yang sama sekali tidak pantas melihat dia menangis
Karena dia adalah langitku
Lebih biru dari segala sesuatu yang menurutmu biru
Lebih luas dari segala sesuatu yang pernah kau mau

Aku ini kenapa...??
Berjalan membelai hamparan ladang bunga dengan kaki terluka
Sambil mengusap darahku yang tercecer di belakang dengan air mata senja

Tuhan....!!!! Kembalikan akal sehatku....!!!! Atau apapun itu....!!!!

Aku ini kenapa...??
Tertidur di pantai berpasir hangat dengan ombak yang mengangguk malas dan bermahkota surga
Selagi otak kananku berontak dan berbisik ini semua terlalu sempurna

Terus berbisik...terus berbisik...

Aku sedang jatuh cinta...

EMPAT

Aku adalah sepotong kaca murah yg pecah terbelah ke segala arah
Perih merintih
Pedih memutih

Aku adalah terang pasar malam yang melawan matahari siang
Menyala sia-sia
Gaduh tak bersuara

Bukan aku tak mau menjadi hiasan dinding ungu pucatmu itu
Atau menjadi kumpulan warna yang bisa menyinarimu sepanjang waktu

Karena pecahan-pecahan kecil ini kau tahu aku ada
Walau aku tahu itu membuatmu terluka

Karena cahaya redup ini kau tahu aku selalu terjaga
Seandainya tengah malam nanti kau terbangun dan memintaku untuk menceritakan sebuah cerita

Aku adalah apa yang kau sebut air mata pagi
Kecil tak berarti
Dan kemudian menghilang ditelan hari

Aku adalah semua yang tak pernah kau lewati
Dan aku tak mau beranjak pergi....

TIGA

Aku pernah menjadi seberkas cahaya
Yang memberimu pelangi dan melukisnya dengan warna yang sempurna
Menerangi seluruh duniamu tanpa kau minta
Dan tetap menjadi cahaya walau tak pernah kau sapa

Aku pernah menjadi indahnya nada
Yang kau nyanyikan saat kau tak ingin aku tahu apa yang kau rasa
Menyembunyikan air matamu yang tak pernah bersuara
Dan tetap menjadi nada walau tak pernah kau jaga

Aku adalah sekotak luka sayangku...
Begitu indah sehingga aku tak mau beranjak pergi
Begitu sakit sehingga aku mendambakan pagi

Maukah kau membawaku pergi dari sini...??
Aku terlalu lelah untuk semua ini
Dan maukah kau membawaku ke tempat tuhanmu yg dulu selalu kau kunjungi...?
Karena aku suka melihatmu bersujud di sajadah yg dulu selalu kau tangisi

Aku adalah air mata sayangku...
Yang selalu terlihat begitu indah saat menetes di pipimu
Melebihi semua cahaya dan nada yang pernah kuberikan padamu

DUA

Kau dengar itu...?
Mereka menertawakan kita
Karena kita membangun sekeping surga
Kemudian meletakkannya di dada dan mengirisnya dengan buaian cerita...

Jangan menggodaku sayang...
Kau tahu aku tak perduli itu cerita apa
Entah itu tawa tak berirama atau hanya air mata tak bermakna...

Kau lihat itu...?
Mereka menjauhi kita
Karena kita seakan menjadi buta
Berulang kali terjatuh mencari arah dan saling membasuh luka...

Kau ingat itu...?
Dulu kau tersenyum walau hanya kuberi pagi
Dan tersenyum lagi saat kutemani mengartikan mimpi
Kau selalu tersenyum walau hanya kuberi janji
Dan tersenyum lagi saat kutemani meraih tinggi

Tak apa sayangku...
Pergilah kalau memang dia bisa memberimu seluruh hari
Memberikanmu sesuatu yang aku bahkan tak berani berjanji

Biarkan aku disini sendiri...
Menjaga sekeping surga yang dulu pernah kita lewati...

SATU

Pernahkah kau merasa seluruh badanmu memusuhimu...
Seperti perut kananku yang memberontak dan bercampur aduk menjadi satu...
Aku ingin terburai...
Menumpahkan seluruh isi perutku hingga mengotori lantai....
Nafas yang semakin pekat...
Jangan pernah menyuruhku untuk tenang seolah semuanya akan lewat...
Muak...
Sesak...
Aku ingin terbelah...
Berdarah tanpa lelah...
Sepi...
Kosong...
Hitam...
Mati....
Tolong berhenti sebelum aku mengunyah jantungku sendiri...