Thursday, April 28, 2011

TIGA PULUH SATU

Apa yang kau mimpikan semalam?
Samakah denganku?

Aku memimpikan seorang gadis yang sedang duduk menghadap kaca
Matanya sembab disesaki ulat tak bernyawa
Rambutnya panjang tergerai memenuhi ruangan berlantai kayu yang tidak berhenti berderak ketika aku masuk ingin merayu
Wajahnya dipenuhi huruf-huruf untuk kemudian menceritakan semua yang ingin kutahu
Ketika aku kehilangan akal sehatku satu persatu
Ketika darahmu memenuhi kelopak mataku
Benarkah kau juga memimpikan itu?
Termasuk gaun hitam membungkus tubuhnya yang biru?

Tadinya aku ingin pergi
Tepat ketika gadis itu menatapku dan menjerit dengan cantiknya
Tepat ketika gadis itu menjahit tangannya sendiri dengan racauan yang mengiris telinga
Bulu matanya meleleh
Menetes perlahan di rahimnya untuk kemudian meninggalkan seonggok luka yang takkan kulupa hangusnya
Kau ingat ini?
Rapal melati yang mati mewangi?
Wangi yang sama ketika kau menari merayakan logika
Ketika kau mencumbui malam hanya untuk membuatnya tetap terjaga
Apa maksudmu?
Kau yakin itu bukan mimpi?

Ah, wangi ini..
Datang lagi..

TIGA PULUH

Aku ingat ketukan rindu sore tadi
Sehelai rambut di sudut pintu
Endapan percakapan di telinga dan wangi hujan yang tak lekas pergi
Kau ingat?

Sepertinya tidak
Karena rindu itu untukmu
Rambut itu milikmu
Percakapan itu denganmu
Hujan itu aku..

DUA PULUH SEMBILAN

Anak arang berloncatan memunguti kancing yang dimuntahkan ibunya
Anak awan berlarian mengubur angin sebelum perlahan diarak senja
Kau bersiul menyirami rumput sematakaki sambil sesekali menelan peniti untuk merayakan anak kita yang setengah buta

Lalala lalala
Betapa indahnya kita
Lahir dari khayalan yang sama

Lalala la...tunggu, kenapa matamu mengeluarkan darah?
Betapa indahnya kita
Anak arang berloncatan memunguti kancing yang dimuntahkan ibunya..

DUA PULUH DELAPAN

Melati kemangi
Perempuanku..

Di hamparan padang rindu ia bersimpuh
Tersenyum dicandai angin yang menertawakan daun-daun berterbangan
Merayakan tubuhmu dengan candu yang perlahan membiru

Mati mewangi
Perempuanku..

Di hamparan padang janji ia berpeluh
Terbaring lelah dirayu telanjang bulan malam
Merayakan manusia dengan tuhan yang berserakan

Bisakah kita pulang sekarang?
Akan kuantar kau ke tempat tidurmu
Seperti biasa kita mengartikan malam..

Thursday, January 20, 2011

DUA PULUH TUJUH

Aku ingat
Aku lihat
Aku tersirat
Aku sesaat
Aku sekelebat
Aku pucat tak terawat
Aku lumat dilaknat pekat
Aku penat terikat karat
Aku firasat yang terlambat
Aku mendekat teramat cepat
Aku tamat

Kau malaikat?
Kau bangsat
Aku tak peduli

DUA PULUH ENAM

Ruang

Waktu

Air mata

Tawa

Emosi

Logika

Akal

Jiwa

Imaji

Mimpi

Sepi

Luka

Hitam

Langkah

Perih

Malam

Khayal

Angin

Senja

Rindu

Hujan

Awan merah

Tanah basah

Lampu kota

Manusia usang

Ilalang petang

Lengkung alis

Ceruk bibir

Tulang pipi

Kupu-kupu

Rapal mewangi

Payung emas

Telanjang bulan

Pasar malam

Sekotak luka yang kutinggalkan

Sudut mati yang kutuhankan



Aku ingin berdamai denganmu....

DUA PULUH LIMA

Bisakah kau taruh gelas minumanmu sejenak
Tinggalkan kursimu
Duduklah disini

Kau pasti mengerti
Bahkan lebih dari itu
Bukan sifatku menjadi orang yang selalu ingin tahu
Terlebih kau selalu berhasil membodohiku
Menutupi cemasmu dengan sebuah senyum seindah kupu-kupu

Tapi kali ini kau kalah
Ada sesuatu yang tak ingin kau ceritakan kepadaku
Aku bisa melihatnya dari tatapanmu yang membiru bersamaan dengan kupu-kupu itu beranjak malu meninggalkan sarangnya di teduh lengkung alismu

Katakan kepadaku
Kenapa harus menunggu malam ketika petang membuatmu nyaman
Kenapa harus tertawa enggan ketika tangis membuatmu tenang

Sedikitpun mereka tak akan pernah mengerti apa yang ada di mimpiku malam tadi
Rusa-rusa pincang itu
Gaun merah di tengah padang ilalang yang kau tangisi sepanjang malam karena ia tak pernah sedikitpun berbohong
Atau kenapa pagi tak kunjung datang hanya karena kau merasa tak pantas memeluknya

Bukankah kita tak membutuhkan kata-kata ketika sunyi adalah sempurna
Apakah kau lupa sekotak luka tak ada artinya selama kita bertuhankan senja

Duduklah disini
Karena sekali lagi aku adalah semua yang tak pernah kau lewati